Assalaamu’alaikum
warohmatullaah wabarokaatuh..
“Di
jalan cinta para pejuang, biarkan cinta berhenti di titik ketaatan..
Meloncati
rasa suka dan tidak suka..
Melampaui
batas cinta dan benci..
Karena
hikmah sejati tak selalu terungkap di awal pagi..
Karena
seringkali kebodohan merabunkan kesan sesaat..
Maka
taat adalah prioritas yang kadang membuat perasaan-perasaan terkibas..
Tapi
yakinlah, di jalan cinta para pejuang, Alloh lebih tahu tentang kita..”
(
Ustadz Salim A Fillah)
Alhamdulillaah, pagi ini aku akan
coba melanjutkan artikel ku yang bertema tentang “Jodoh”. Seperti janji ku kemarin. Aku akan
mencoba mengangkat dua kisah yang mulia namun berakhir dengan ending yang
berbeda. Namun sebelum masuk ke artikel, mari kita sejenak membaca kalimat di
atas yang begitu mengunggah hati. Betapa indah jalan cinta para pejuang. Tidak
ada yang lebih indah dalam cinta kecuali saat cinta itu berhenti pada titik
keta’atan. Maka, bentuk dari pada cinta itu adalah keta’atan kepada Allah.
Baiklah, mari kita masuk ke dalam
pembahasan. Mari kita baca dengan seksama dua kisah berikut ini.
***
Kisah Cinta
Ali bin Abi Thalib dan Fathimah Az-Zahra
Ada rahasia terdalam
di hati Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah. Karib kecilnya,
puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya.
Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada
suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang
dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia
bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.
Semuanya
dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ‘Abdullah Sang terpercaya
tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu bangkit.
Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula
saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam.
Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut
jalang itu kesempatan untuk menimpali. Mengagumkan!Ali tak tahu apakah rasa itu
bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar
yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling
dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan
jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu
Bakr Ash Shiddiq, ra. Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali. Ia merasa
diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakar. Kedudukan di sisi Nabi? Abu
Bakar lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti
‘Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi.
Lihatlah bagaimana Abu Bakar menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah
sementara ‘Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.
Lihatlah
juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan
saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakar; ‘Utsman,
‘Abdurrahman ibn ‘Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.. Ini
yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ‘Ali.
Lihatlah
berapa banyak budak Muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakar;
Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ‘Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang
dibebaskan ‘Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakar sang saudagar, insya Allah
lebih bisa membahagiakan Fathimah.
‘Ali
hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. “Inilah persaudaraan dan cinta”,
gumam ‘Ali.
“Aku
mengutamakan Abu Bakar atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas
cintaku.”
Cinta
tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan.
Ia adalah keberanian, atau pengorbanan
Beberapa
waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang
sempat layu. Lamaran Abu Bakar ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya
untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu
Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan
perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum Muslimin berani
tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut
dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut.
‘Umar
ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga
datang melamar Fathimah. ‘Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun
setelah ‘Ali dan Abu Bakar. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa
yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang
menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ‘Umar dan Hamzah yang mampu
memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ‘Ali mendengar sendiri
betapa seringnya Nabi berkata, “Aku datang bersama Abu Bakar dan ‘Umar, aku
keluar bersama Abu Bakar dan ‘Umar, aku masuk bersama Abu Bakar dan ‘Umar..”
Betapa
tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba bandingkan
bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ‘Umar melakukannya. ‘Ali menyusul sang
Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak
menemukan beliau Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan
di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan
bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.
‘Umar
telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah.
“Wahai Quraisy”, katanya. “Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah.
Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya
berkabung tanpa henti, silakan hadang ‘Umar di balik bukit ini!” ‘Umar adalah
lelaki pemberani. ‘Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam
pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi
Fathimah binti Rasulillah! Tidak. ‘Umar jauh lebih layak. Dan ‘Ali ridha.
Cinta
tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan Itulah keberanian atau
mempersilakan. Yang ini pengorbana.n Maka ‘Ali bingung ketika kabar itu
meruyak. Lamaran ‘Umar juga ditolak. Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki
Nabi? Yang seperti ‘Utsman sang miliarderkah yang telah menikahi Ruqayyah binti
Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah, saudagar Quraisy itu, suami
Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya
hilang kepercayaan diri.
Di
antara Muhajirin hanya ‘Abdurrahman ibn ‘Auf yang setara dengan mereka. Atau
justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan
dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan
itu? Atau Sa’d ibn ‘Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
“Mengapa
bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu
membangunkan lamunan. “Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya
firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi.. “
“Aku?”,
tanyanya tak yakin.
“Ya.
Engkau wahai saudaraku!”
“Aku
hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
“Kami
di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”
‘Ali
pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya
keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak
ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana
ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau
tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di
batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua
sekarang.
“Engkau
pemuda sejati wahai ‘Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap
bertanggungjawab atas cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-
pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya. Lamarannya berjawab,
“Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.
Dan
ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa
dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun
bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu
resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang
tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa
pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.
“Bagaimana
jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”
“Entahlah..”
“Apa
maksudmu?”
“Menurut
kalian apakah ‘Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”
“Dasar
tolol! Tolol!”, kata mereka,
“Eh,
maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan
saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan!
Dua-duanya berarti ya !”
Dan
‘Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang
semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar
cicilannya. Itu hutang.
Dengan
keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ‘Umar, dan Fathimah.
Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti.
‘Ali
adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan
illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!” Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan
yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan di sini,
cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti ‘Ali. Ia mempersilakan. Atau
mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah
keberanian.
Dan
ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu
riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata
kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu
kali jatuh cinta pada seorang pemuda”
‘Ali
terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan
Siapakah pemuda itu?”
Sambil
tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu” ini merupakan
sisi ROMANTIS dari hubungan mereka berdua.
Kemudian
Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk
menikahkan Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikanlah
sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskawin empat ratus Fidhdhah
(dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima) mahar tersebut.”
Kemudian
Rasulullah saw. mendoakan keduanya: “Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan
kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian
berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak.”
***
Kisah
Cinta Salman Al Farisi
Sebuah kisah cinta menarik tercatat
dalam sejarah hidup seorang shahabat Rasulullah, Salman Al-Farisi. Ia merupakan
seorang mantan budak dari Isfahan Persia. Kisah cinta Salman terjadi saat ia
tinggal di Madinah setelah menjadi muslim dan menjadi salah satu sahabat dekat
Rasulullah.
Pada suatu waktu, Salman berkeinginan untuk menggenapkan dien dengan menikah. Selama ini, ia juga diam-diam menyukai seorang wanita salehah dari kalangan Anshar. Namun ia tak berani melamarnya. Sebagai seorang imigran, ia merasa asing dengan tempat tinggalnya, Madinah.
Bagaimana adat melamar wanita di kalangan masyarakat Madinah? Bagaimana tradisi Anshar saat mengkhitbah wanita? Demikian yang dipikirkan Salman. Ia tak tahu menahu mengenai budaya Arab. Tentu saja tak bisa sembarangan tiba-tiba datang mengkhitbah wanita tanpa persiapan matang.
Pada suatu waktu, Salman berkeinginan untuk menggenapkan dien dengan menikah. Selama ini, ia juga diam-diam menyukai seorang wanita salehah dari kalangan Anshar. Namun ia tak berani melamarnya. Sebagai seorang imigran, ia merasa asing dengan tempat tinggalnya, Madinah.
Bagaimana adat melamar wanita di kalangan masyarakat Madinah? Bagaimana tradisi Anshar saat mengkhitbah wanita? Demikian yang dipikirkan Salman. Ia tak tahu menahu mengenai budaya Arab. Tentu saja tak bisa sembarangan tiba-tiba datang mengkhitbah wanita tanpa persiapan matang.
Salman
pun kemudian mendatangi seorang sahabatnya yang merupakan penduduk asli
Madinah, Abu Darda’. Ia bermaksud meminta bantuan Abu Darda’ untuk menemaninya
saat mengkhitbah wanita impiannya. Mendengarnya, Abu Darda’ pun begitu girang.
“Subhanallah wa Alhamdulillah,” ujarnya begitu senang mendengar sahabatnya
berencana untuk menikah. Ia pun memeluk Salman dan bersedia membantu dan
mendukungnya. Setelah beberapa hari mempersiapkan segala sesuatu, Salman pun
mendatangi rumah sang gadis dengan ditemani Abu Darda’. Keduanya begitu
gembira. Setoiba di rumah wanita shalehah tersebut, keduanya pun diterima
dengan baik oleh tuan rumah.
“Saya
adalah Abu Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman dari Persia. Allah telah
memuliakan Salman dengan Islam. Salman juga telah memuliakan Islam dengan jihad
dan amalannya. Ia memiliki hubungan dekat dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam. Bahkan Rasulullah menganggapnya sebagai ahlu bait (keluarga) nya,”
ujar Abu Darda’ menggunakan dialek bahasa Arab setempat dengan sangat lancar
dan fasih.
“Saya
datang mewakili saudara saya, Salman, untuk melamar putri anda,” lanjut Abu
Darda’ kepada wali si wanita, menjelaskan maksud kedatangan mereka.
Mendengarnya,
si tuan rumah merasa terhormat. Tentu saja, ia kedatangan dua orang sahabat
Rasulullah yang utama. Salah satunya bahkan berkeinginan melamar putrinya.
“Sebuah kehormatan bagi kami menerima shabat Rasulullah yang mulia. Sebuah
kehormatan pula bagi keluarga kami jika memiliki menantu dari kalangan shahabat,”
ujar ayah si wanita.
Namun sang ayah tidaklah kemudian segera menerimanya. Seperti yang diajarkan Rasulullah, ia harus bertanya pendapat putrinya mengenai lamaran tersebut. Meski yang datang adalah seorang shahabat Rasul, sang ayah tetap meminta persetujuan sang putri.
“Jawaban lamaran ini merupakan hak putri kami sepenuhnya. Oleh karena itu, saya serahkan kepada putri kami,” ujarnya kepada Abu Darda’ dan Salman Al Farisi.
Sang tuan rumah pun kemudian memberikan isyarat kepada istri dan putrinya yang berada dibalik hijab. Rupanya, putrinya telah menanti memberikan pendapatnya mengenai pria yang melamarnya. Mewakili sang putrid, ibunya pun berkata, “Mohon maaf kami perlu berterus terang,” ujarnya membuat Salman dan Abu Darda’ tegang menanti jawaban.
“Maaf atas keterusterangan kami. Putri kami menolak lamaran Salman,” jawab ibu si wanita tentu saja akan menghancurkan hati Salman. Namun Salman tegar.
Tak sampai disitu, sang ibunda melanjutkan jawaban putrinya, “Namun karena kalian berdua lah yang datang, dan mengharap ridha Allah, saya ingin menyampaikan bahwa putri kami akan menjawab iya jika Abu Darda’ memiliki keinginan yang sama seperti Salman,” kata ibu si wanita shalihah idaman Salman, wanita yang Salman inginkan untukmenjadi istrinya, wanita yang karenanya ia meminta bantuan Abu Darda’ untuk membantu pinangannya. Namun justru wanita itu memilih Abu Darda’, yang hanya menemani Salman.
Namun sang ayah tidaklah kemudian segera menerimanya. Seperti yang diajarkan Rasulullah, ia harus bertanya pendapat putrinya mengenai lamaran tersebut. Meski yang datang adalah seorang shahabat Rasul, sang ayah tetap meminta persetujuan sang putri.
“Jawaban lamaran ini merupakan hak putri kami sepenuhnya. Oleh karena itu, saya serahkan kepada putri kami,” ujarnya kepada Abu Darda’ dan Salman Al Farisi.
Sang tuan rumah pun kemudian memberikan isyarat kepada istri dan putrinya yang berada dibalik hijab. Rupanya, putrinya telah menanti memberikan pendapatnya mengenai pria yang melamarnya. Mewakili sang putrid, ibunya pun berkata, “Mohon maaf kami perlu berterus terang,” ujarnya membuat Salman dan Abu Darda’ tegang menanti jawaban.
“Maaf atas keterusterangan kami. Putri kami menolak lamaran Salman,” jawab ibu si wanita tentu saja akan menghancurkan hati Salman. Namun Salman tegar.
Tak sampai disitu, sang ibunda melanjutkan jawaban putrinya, “Namun karena kalian berdua lah yang datang, dan mengharap ridha Allah, saya ingin menyampaikan bahwa putri kami akan menjawab iya jika Abu Darda’ memiliki keinginan yang sama seperti Salman,” kata ibu si wanita shalihah idaman Salman, wanita yang Salman inginkan untukmenjadi istrinya, wanita yang karenanya ia meminta bantuan Abu Darda’ untuk membantu pinangannya. Namun justru wanita itu memilih Abu Darda’, yang hanya menemani Salman.
Jika
seperti pria pada umumnya, maka hati Salman pasti hancur berkeping-keeping. Ia
akan merasakan patah hati yang teramat sangat. Namun Salman merupakan pria
shaleh, seorang mulia dari kalangan shahabat Rasulullah. Dengan ketegaran hati
yang luar biasa, ia justru menjawab, “Allahu akbar!” seru Salman girang.
Tak
hanya itu, Salman justru menawarkan bantuan untuk pernikahan keduanya. Tanpa
perasaan hati yang hancur, ia memberikan semua harta benda yang ia siapkan
untuk menikahi si wanita itu. “Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan akan
kuberikan semua kepada Abu Darda’. Aku juga ajan menjadi saksi pernikahan
kalian,” ujar Salman dengan kelapangan hati yang begitu hebat.
***
Dua kisah sahabat rasulullaah saw
yang begitu indah. Mereka mempunyai niat yang mulia yaitu menyempurnakan
separuh agamanya karena Allah. Namun pada ke dua kisah tersebut kita menemukan
ending yang berbeda. Pada kisah cinta ali, kesabaran nya berujung pada
kebersamaannya dengan orang yang ia cinta yaitu Fatimah Binti Muhammad SAW. Dan
pada kisah Salman Al Farisi, kesabarannya tidak berujung kebersamaan dengan
wanita yang ingin di lamarnya, karena perempuan yang ingin di lamarnya lebih
memilih untuk di lamar oleh sahabatnya yaitu Abu Darda’.
Begitulah
hakikatnya jodoh. Jodoh itu rahasia Allah dan kita tidak pernah tahu siapa
jodoh kita. Kadang, ia datang dalam proses yang begitu mudah dan kadang ia datang
pada proses yang panjang dan berliku. Maka, kewajiban kita hanya berusaha dan
berdo’a selebihnya Allah yang menentukan. Ada banyak hikmah yang bisa kita
petik dari ke dua kisah tersebut.
· Ketika kita mencintai seseorang, maka
simpan lah perasaan itu sampai kita siap untuk menikah dengannya.
· Ketika kita mencintai dalam diam,
tautkanlah cinta itu hanya kepada Allah. Karena jika kita menautkan cinta hanya
kepada-Nya, kita akan mendapatkan jalan yang terbaik.
· Ketika kita mencintai dalam diam dan
diri mu tidak berjodoh dengan orang yang engkau cintai dalam diam, jangan
kecewa. Allah senantiasa memberikan jodoh yang terbaik.
·
Ketika kelak, andai diri mu ingin
melamar seseorang yang engkau cintai namun lamaran mu di tolak, maka kuatkanlah
hatimu dan yakinkanlah “yang terbaik
telah menanti mu di batas waktu”.
Hingga
pada akhirnya kita menemukan sebuah wujud dari pada cinta yang luar biasa pada
kedua kisah tersebut. Wujud yang begitu terasa manisnya sebuah iman. Cinta
adalah ridho atas apa yang Allah berikan. Cinta adalah senantiasa berada pada jalan
keta’atan kepada Allah.
“Dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (Q.S
Ar-Rum : 21)
Hehe sebelum saya mengakhiri tulisan
ini. saya ingin menuliskan isi twitter dari Ustadz Salim A Fillah..
·
#Lelaki bahagia adalah Salman; cinta tak
bersambut bukan kepedihan. Dia sokong Abud Darda’ sahabatnya, menikahi gadis
yang dicintanya.
·
#Lelaki jantan itu ‘Ali; tak memintamu
menunggu di batas waktu. Dia ambil kesempatan (itu keberanian), atau menyilakan
(itu pengorbanan)
·
#Lelaki hebat tak suka berjanji. Tapi
begitu memutuskan mencinta, dia menyusun rencana tuk memberi & bekerja
mewujudnya walau tersunyi.
·
#Lelaki hebat berjuang melampaui wataknya.
Seperti Abu Bakr; lembut & santun tapi tak jadi lembek. Dia teguh &
tegar.
·
#Lelaki kuat berjibaku menggenapkan
sifatnya. Seperti ‘Umar yang keras; dia tak beringas. Dia paling penyayang pada
ummat yang dipimpin.
·
#Lelaki mengagumkan berkorban jiwa raga
tuk sempurnakan karakternya. Seperti ‘Utsman yang pemalu, egonya diruntuhkan
kedermawanan.
·
#Lelaki dahsyat memahami konsekuensi
penampilannya. Seperti ‘Ali yang periang & easy going; dia singa saat
perang, rahib di gelap malam.
·
#Wanita itu Fathimah, penghulu surgawati
berikutnya. Satu hari, setimbun isi perut unta ditumpahkan ke kepala Nabi nan
sujud.
·
Beliau tak bangkit, hingga #Wanita belia
itu datang mengusap & menyeka penuh tangis haru. “Tenang Fathimah, Allah
takkan siakan ayahmu.”
·
#Wanita itu menuntun ayahnya pulang,
disekakannya air hangat, dibakarkannya perca untuk hentikan darah di luka. Lalu
disilakannya rehat.
·
Penuh nyali #Wanita itu kembali ke
Ka’bah, ditudingnya para pemuka Quraisy yang tertawa-tawa hingga mereka
terkesiap. Lalu dia bicara.
·
“Ayahku Al Amin, akhlaqnya mulia, &
tak sekalipun dia pernah rugikan kalian..”, #Wanita itu terus bicara &
mereka khusyu’ mendengarkan.
·
Fathimah; dia puteri Nabi setara raja,
tapi pelayanpun tak punya. Dia isteri pahlawan, tapi tangannya melepuh
menggiling gandum. #Wanita
Afwan atas segala kekurangan dalam
penulisan.. Semoga bermanfa’at ^_^
@Trio_Al_Farizih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar